LEMBAR PERNYATAAN
Saya yang
bertanda tangan dibawah ini
Nama : Teguh Muhazir D.
NPM : 18413842
Kelas : 2IB01
Menyatakan
bahwa makalah yang berjudul “Etika Dalam Perang Modern”
telah sampai 2453 kata dan bukan merupakan hasil plagiat.
Jakarta, 10 Juni 2015
Teguh Muhazir D.
I. Pendahuluan
A.
Latar Belakang
Makalah saya
kali ini akan membahas tentang etika
dalam perang modern. Semenjak masa dimana manusia mulai membangun peradaban.
Yaitu ketika manusia mulai hidup berkelompok-kelompok dan membangun kerajaan
atau Negara, sejak itu pula perang mengiringi perjalanan peradaban manusia
sejak berabad-abad lalu. Sejarah Negara kita pun erat sekali dengan perang,
baik pada pada masa kerajaan dahulu, masa penjajahan dari era portugis hingga
terakhir penjajahan jepang, bahkan setelah merdeka pun perang masih ada dalam
sejarah Negara kita yaitu ketika masa pemberontakan PKI.
Banyak hal yang
mendasari terjadinya perang antara lain : keinginan untuk menaklukan atau
menjajah suatu Negara, perbedaan ideologi sehingga menimbulkan konflik, hingga
perebutan kekuasaan pada suatu Negara. Karena beberapa alasan diatas
tersebutlah akhirnya timbul perang. Dalam perang baik pihak yang kalah maupun
yang menang pasti akan sama-sama menimbulkan korban jiwa, baik prajurit atau
tentara yang berperang maupun warga sipil. Pada perang dunia kedua tercatat
20858800 prajurit yang gugur, sedangkan 27372900 warga sipil terbunuh dalam
perang tersebut[1]. Dalam
statistik tersebut jumlah korban jiwa
dari warga sipil jauh lebih banyak dibandingkan dengan tentara yang berperang.
Dalam setiap perang pasti akan menimbulkan jumlah korban warga sipil yang tidak
sedikit, bahkan dalam beberapa kasus jumlah korban warga sipil jauh lebih
banyak.
B.
Rumusan Masalah
Saya telah
menyusun beberapa masalah yang akan dibahas dalam makalah ini sebagai batasan
dalam pembahasan isi. Beberapa masalah tersebut antara lain :
1.
Pengertian dan Penyebab Perang
2.
Landasan Untuk Berperang
3.
Etika Dalam Berperang
4.
Hasil Akhir Perang
5.
Perjanjian Damai
C.
Tujuan
Penulisan
Berdasarkan
rumusan masalah diatas maka tujuan dalam penulisan makalah ini sebagai berikut
:
1.
Mengetahui pengertian dari perang, sebab, tujuan dan hal
yang melandasi perang tersebut.
2.
Mengetahui etika apa saja yang harus dipatuhi oleh pihak
yang berperang.
3.
Konsekuensi dan hasil akhir dari sebuah perang.
II. Pembahasan
A.
Pengertian dan
Penyebab Perang
Perang adalah suatu konflik
bersenjata antara dua Negara yang berbeda atau antar kelompok dalam suatu
Negara.[2]
Ada beberapa hal yang melatarbelakangi terjadinya perang, diantaranya :
Perbedaan paham atau ideologi, dalam hal ini kita dapat mengambil contoh perang dingin antara Amerika Serikat dengan
Uni Soviet. Meskipun kedua Negara tidak pernah terlibat konflik secara
langsung, tetapi beberapa perang seperti perang Afghanistan dan perang Vietnam
kedua Negara ini secara tidak langsung terlibat dengan memfasilitasi
persenjataan pada perang tersebut.
Sebab yang
kedua adalah perbedaan keyakinan atau agama, contoh dari perang ini adalah
perang salib pada abad pertengahan selain itu di dalam negeri kita juga dapat
mengambil contoh dari konflik ambon pada tahun 1999.
Sebab
ketiga adalah penjajahan yang dilakukan oleh suatu Negara terhadap Negara
lainnya. Ada beberapa tujuan yang dijadikan beberapa Negara untuk menjajah
suatu Negara diantaranya untuk menguasai sumber daya alam di suatu wilayah.
Contoh hal ini adalah penjajahan portugis terhadap Indonesia untuk menguasai
rempah-rempah. Selain itu ada juga yang disebabkan untuk menguasai suatu
wilayah seperti penjajahan Israel terhadap Palestina yang bertujuan untuk
mengusir etnis Palestina agar wilayah mereka dapat dibangun pemukiman Yahudi
oleh Israel.
Sebab
Keempat adalah perebutan kekuasaan di suatu Negara atau disebut dengan kudeta.
Biasanya kudeta terjadi karena ketidakpuasan rakyat atau suatu kelompok
terhadap kinerja pemerintahan. Contoh yang paling nyata saat ini adalah perang
di suriah, dimana pemberontak berusaha untuk menggulingkan pemerintahan Bashar
Al-Assad.
B.
Landasan untuk
Perang
Dalam
menyelesaikan sebuah konflik yang tidak tercapai titik temu dua belah pihak
yang berseteru akan mengambil tindakan perang sebagai jalan akhir. Biasanya
sebelum memutuskan untuk berperang negara yang terlibat konflik akan mencoba
menyelesaikan permasalahan mereka dengan cara diplomasi terlebih dahulu.Tetapi terkadang
pihak yang berperang akan berfikir bahwa tindakan yang mereka ambil untuk
berperang adalah sebuah pilihan terbaik. Beberapa negara yang berperang
membenarkan pilihan meraka itu dengan mendasarkan pada “Just war theory” atau teori
pembenaran dalam perang. Yaitu sebuah paradoks dimana membunuh itu
diperlukan untuk menyelamatkan lebih banyak nyawa, dan kehancuran yang
diakibatkan oleh perang diperlukan untuk mencegah kehancuran yang lebih besar
lagi.[3]
Teori ini banyak diadopsi oleh negara-negara barat yang menganut keyakinan
Kristen, karena teori ini dicetuskan oleh St. Thomas Aquinas. Teori “Just war”
ini memiliki dua kriteria yaitu jus ad bellum (pembenaran untuk berperang) dan jus
in bello (perilaku yang tepat dalam perang). Kriteria pertama berkaitan untuk
memberikan alasan moral untuk membenarkan pilihan berperang. Sedangkan kriteria
kedua berkaitan dengan legitimasi atau hal-hal yang dibenarkan saat berperang.
Dalam
perspektif Islam perang atau disebut dengan jihad diperbolehkan tetapi harus
berada pada batasan-batasan atau koridor yang tidak menyelisihi Al-Quran dan
Hadist. Jihad dalam islam memiliki makna yang luas yang tidak sebatas berperang.
Untuk jihad berperang ditujukan bersifat menjaga diri bukan untuk
mengintervensi atau menyerang pihak lain terlebih dahulu. Makna jihad disini
adalah untuk memerangi orang-orang kafir yang menunjukkan sikap dan menyatakan
perang terhadap kaum muslimin yaitu
orang-orang kafir dari golongan Kafir Harbi. Orang kafir harbi adalah seluruh orang musyrik dan Ahli
kitab yang boleh diperangi atau semua orang kafir yang menampakkan permusuhan
dan menyerang kaum Muslimin.
C.
Etika dalam
Berperang
Dalam perang meskipun kedua belah pihak yang berkonflik
berusaha saling mengalahkan dan menaklukan satu sama lain tetapi ada beberapa
aturan yang seharusnya tidak boleh dilanggar dalam perang karena bertentangan
dengan nilai kemanusiaan.
Hal pertama adalah tidak boleh menyerang warga sipil yang
tidak bersenjata, terutama wanita dan anak-anak. Prajurit yang berperang tidak
memiliki hak untuk membunuh semua orang dalam sebuah perang. Menurut teori
tradisional dalam perang prajurit hanya diperbolehkan untuk membunuh prajurit
musuh[4].
Semua prajurit yang berperang harus dapat membedakan antara target yang boleh
dan tidak boleh untuk diserang. Serangan bersenjata hanya boleh dilakukan
kepada prajurit lawan saja, sedangkan serangan terhadap warga sipil yang tidak
bersenjata tidak diperbolehkan dalam kondisi apapun. Tindakan penyerangan yang
dilakukan secara sengaja oleh prajurit terhadap warga sipil bisa dibilang
sebagai tindak terorisme dan merupakan sebuah kejahatan perang. Tanpa peraturan
ini salah satu pihak yang berperang akan membenarkan tindakan genosida atau
pemberantasan etnis dari pihak lainnya. Meskipun hal ini sudah diatur dalam
hukum dan perundang-undangan internasional tetap saja ada beberapa kasus yang
dunia internasional dan PBB tidak dapat melakukan tindakan apapun yaitu
penyerangan Israel ke Jalur Gaza. Meskipun hal ini sudah menjadi perhatian
Internasional dan menimbulkan kecaman keras dari berbagai negara, tidak ada
yang dapat dilakukan untuk mencegah hal tersebut. Hal ini seolah menunjukkan
bahwa Israel kebal terhadap sanksi dan hukum internasional.
Selain daripada itu jika pasukan tentara salah satu pihak
menyerang pasukan tentara lain yang sedang dalam kedaan tidak siap atau tidak bersenjata
hal tersebut boleh dilakukan dan tidak menyalahi aturan karena target yang
diserang adalah pasukan prajurit musuh. Hal ini sesuai dengan teori perang
tradisional dimana prajurit lawan adalah target yang diperbolehkan untuk
diserang karena mereka dianggap dapat memberikan suatu ancaman jika dipersenjatai
atau memegang senjata. Jika ada warga sipil yang menyerang secara tiba-tiba
dengan mempergunakan senjata maka prajurit boleh melakukan serangan balasan
sebagai aksi dari pembelaan diri. Hal tersebut tidak menyalahi aturan karena
jika warga sipil tersebut memegang dan mempergunakan senjata maka itu sudah
dianggap sebuah ancaman bagi prajurit. Karena sesuai dengan hukum dari perang
dimana warga sipil yang mengambil bagian dalam konflik senjata, baik secara
individual maupun berkelompok akan menjadi target serangan yang sah.[5]
Jika ada korban yang terluka akibat perang baik warga sipil
maupun prajurit yang berperang mereka harus dihormati dan dilindungi dalam
keadaan apapun, tidak boleh ada upaya untuk menyerang atau melukai mereka.
Mereka harus mendapatkan perlakuan yang manusiawi dan mendapatkan perawatan
medis.[6]
Aturan ini telah disepakati pada konvensi jenewa pada tahun 1949. Setiap
prajurit yang gugur dalam perang wajib diidentifikasi jika memungkinkan dengan
pemeriksaan medis, sebelum dibawa kepada keluarga mereka atau dikuburkan. Hal
ini untuk menunjukkan moral bahwa setiap jiwa yang gugur dalam perang akan
diingat dan suatu saat akan dikenang jasanya terhadap negara.
Jika dalam peperangan salah satu pihak berhasil mengalahkan
dan menangkap beberapa prajurit musuh maka mereka dapat dijadikan sebagai
tahanan perang namun tetap berada dalam peraturan hukum internasional yang
mengatur tentang tahanan perang. Tahanan perang berada dalam kekuasaan negara
yang menahannya bukan dalam kekuasaan individual atau kelompok yang
menangkapnya tanpa mengurangi hak asasi manusia dari yang tertahan. Tahanan
perang boleh dijadikan subjek dari pendisiplinan dari pihak yang menangkap.
Selain itu pihak yang menangkap wajib memberikan makanan dan pakaian tahanan
yang layak bagi tahanan dan memberikan perawatan medis jika diperlukan, tergantung
dari kondisi tahanan.
Dalam kondisi perang salah satu pihak yang berperang dapat
mengajukan gencatan senjata kepada pihak lawan. Gencatan senjata adalah sebuah
perjanjian antar pihak yang berperang untuk mengakhiri kontak senjata satu sama
lain dalam suatu periode waktu meskipun begitu kedua pihak masih dalam status
berperang.[7]
Prajurit yang membawa atau mengibarkan bendera putih tidak boleh diserang
begitu pula sebaliknya mereka tidak boleh menyerang. Menyerang kelompok yang
memperlihatkan bendera putih atau mempergunakan bendera putih sebagai tipuan
untuk menyerang pihak lawan dianggap sebagai tindak kejahatan perang.
Dalam perang terkadang salah satu pihak menggunakan segala
macam cara untuk mendapatkan kemenangan dan mengakhiri perang secepatnya. Salah
satunya adalah dengan menggunakan bom atom atau bom nuklir. Bom nuklir pertama
dan satu-satunya yang dipergunakan saat ini dalam perang adalah little boy dan
fat man yang dijatuhkan oleh Amerika Serikat di Hiroshima dan Nagasaki, Jepang.
Bom pertama yang dijatuhkan di Hiroshima mengakibatkan korban jiwa sebanyak
80000. Bom kedua yang dijatuhkan tiga hari berselang di Nagasaki mengakibatkan
korban jiwa sebanyak 40000. Sebulan setelah pengeboman 100000 orang lebih
meninggal akibat radiasi dari bom atom tersebut. Enam hari berselang setelah
pengeboman di Nagasaki, Jepang menyerah kepada sekutu. Memang benar bahwa
penggunaan bom nuklir bisa dengan cepat mengakhiri perang, memaksa salah satu
pihak untuk menyerah agar tidak timbul lebih banyak warga sipil yang menjadi
korban jiwa. Pada kasus Hiroshima dan Nagasaki target pengeboman adalah kota
dengan jumlah penduduk yang banyak sehingga korban warga sipil yang jatuh
sangat banyak. Padahal dalam kode etik perang tidak diperbolehkan membunuh
warga sipil. Selain dampak korban jiwa bom atom juga memberikan dampak yang
buruk bagi lingkungan. Efek Radiasi berkepanjangan dari bom akan mencemari
lingkungan tempat bom dijatuhkan. Meskipun banyak suara yang menyerukan untuk
penghentian penggunaan bom atom dalam perang nyatanya beberapa negara masih
menyimpan hulu ledak nuklir di gudang persenjataan mereka seperti: Prancis,
Inggris, Russia, China dan Amerika Serikat. Amerika Serikat sendiri memiliki
5000 senjata nuklir, sedangkan Russia memliki 4500 senjata nuklir.[8]
Segala bentuk tindakan yang melanggar etika perang dan
melanggar hak asasi manusia yang dilakukan dengan sengaja, seperti beberapa
contohnya yang telah disebutkan sebelumnya akan dianggap sebagai sebuah
kejahatan perang. Kejahatan perang tersebut akan ditindak oleh International
Criminal Court (ICC). Sebuah lembaga internasional yang berfungsi untuk
mengadili para pelaku kejahatan perang.
D.
Perjanjian
Damai dan Konsekuensi Perang
Dalam perang selalu ada hasil akhir. Ada pihak yang menang
ada pula pihak yang kalah. Setelah perang biasanya akan dibuat sebuah
perjanjian damai. Perjanjian damai ini adalah sebuah kesepakatan yang dibuat
oleh dua pihak yang berperang yang secara formal mengakhiri status perang
antara dua kubu. Dalam perjanjian damai ini pada pihak yang kalah akan
dikenakan kompensasi baik secara materil maupun immaterial. Seperti membayar
biaya ganti untuk merekonstruksi kembali kota-kota yang hancur dari negara yang
memenangkan perang, menyediakan buruh atau pekerja untuk merekonstruksi,
pengurangan batas wilayah negara, dan mendapatkan sanksi ekonomi dan militer
secara internasional.
Sebagai contoh, hasil akhir dari perang dunia pertama yang
menghasilkan Treaty of Versailles, Jerman diharuskan mengganti kerugian sebesar
6 miliar euro dan kehilangan 13 persen dari wilayah teritori-nya. Selain itu
Jerman juga diharuskan mengurangi personil militernya. Hal ini ditujukan untuk
melemahkan Jerman, agar memberikan rasa aman bagi negara-negara tetangga dari
invasi Jerman.[9]
III. Kesimpulan
Selama perjalanan peradaban manusia tidak pernah luput atau
lepas dari perang, karena pada dasarnya manusia adalah makhluk serakah, selalu
menginginkan lebih dari apa yang mereka dapatkan. Karena itulah sering terjadi
pergesekan kepentingan dan kekuasaan sehingga menimbulkan konflik, yang pada
akhirnya tidak bisa dielesaikan dengan cara diplomasi dan timbulah perang. Ada
beberapa hal yang memicu terjadinya perang yaitu :
1.
Perbedaan paham atau Ideologi dari suatu negara yang saling
berebut pengaruh.
2.
Perbedaan keyakinan atau agama yang berujung pada konflik.
3.
Penjajahan atau suatu negara yg berusaha menguasai sumber
daya negara lain.
4.
Kudeta atau perebutan kekuasaan.
Seiring dengan majunya peradaban perang yang pada zaman
dahulu dilakukan secara sadis, barbar dan tanpa aturan, kini meskipun tetap
merupakan suatu solusi yang kasar tetapi ada koridor dan batasan-batasan moral
dalam perang. Dimana semua itu sudah melalui suatu kesepakatan antar negara
yang melahirkan konvensi jenewa. Konvensi Jenewa ini lebih mengutamakan
keselamatan dari warga sipil dan menjaga hak-hak asasi manusia selama perang. Beberapa
kode etik yang harus dipatuhi selama perang diantaranya adalah larangan untuk
menyerang warga sipil yang tidak bersenjata, terutama wanita dan anak-anak. Tindakan
penyerangan terhadap warga sipil merupakan suatu kejahatan perang yang dapat
ditindak lanjuti di mahkamah internasional yaitu ICC (International Criminal
Court).
Pihak yang berperang dapat melakukan gencatan senjata yang
telah disepakati oleh kedua belah pihak. Yaitu untuk menghentikan kontak
senjata dalam kurun waktu yang telah ditentukan. Gencatan senjata ini biasanya
dilakukan untuk mengevakuasi warga sipil yang berada di medan perang terlebih
dahulu, atau untuk menghimpun kembali kekuatan tempur dan personil militer.
Ketika perang telah usai biasanya akan dibuat sebuah
perjanjian damai, dan juga pihak yang kalah dalam perang akan menerima
konsekuensi berupa penggantian biaya rekonstruksi infrastruktur yang hancur
karena perang dan juga harus menyediakan tenaga kerja untuk melakukan pekerjaan
tersebut. Selain itu bisa juga dikenakan sanksi pengurangan batas wilayah
negara untuk mengurangi kemungkinan konflik kembali dengan negara tetangga.
Dua negara atau kubu yang tengah menghadapi konflik
sebaiknya menggunakan cara diplomasi secara maksimal untuk menghindari
terjadinya perang. Seharusnya opsi perang itu harus dihapuskan dari jalan
penyelasiannya karena pihak yang banyak menjadi
korban adalah warga sipil. Mereka harus kehilangan tempat tinggal bahkan juga nyawa. Bahkan dalam kasus
pengeboman Hiroshima dan Nagasaki mereka menjadi target penyerangan dari
Amerika Serikat, dengan dalih untuk menyelesaikan perang dengan secepatnya agar
pihak jepang menyerah. Para pemimpin dunia seharusnya melihat kebelakang dan
merenungkan apakah yang didapat dari berperang. Karena sesungguhnya tidak ada
pihak yang menang dalam perang, mereka sama-sama mengalami kerugian. Setiap
permasalahan pasti ada solusi damai yang dapat diupayakan tanpa jalan
kekerasan.
Daftar
Pustaka
3. Robert E. Williams Jr. & Dan Galdwell, Jus Post Bellum:
Just War Theory and the Priciple of Just Peace, Pepperdine University, 2006.
4. Jeff McMahan, Ethics of Killing in War, The University of
Chicago, 2004.
5. MAJ Keith E. Puls, Law of War Handbook, International and
Operational Law Department, 2005.
6. Summary of The Geneva Conventions of 12 August 1949 and
Their Additional Protocol, Switzewrland, 2012.
8. Charles J. Moxley Jr., John Burroughs, Jonathan Granoff,
Nuclear Weapons and International Law.
9. http://www.history.co.uk/study-topics/history-of-ww2/treaty-of-versailles
11. https://www.icrc.org/customary-ihl/eng/docs/v1_cha_chapter44_rule156
[1]
http://warchronicle.com/numbers/WWII/deaths.htm
[2]
http://www.oxforddictionaries.com/definition/english/war
[3] Robert E. Williams Jr. & Dan
Galdwell, Jus Post Bellum: Just War Theory and the Priciple of Just Peace,
Pepperdine University, 2006, Hlm 1.
[4] Jeff McMahan, Ethics of Killing
in War, The University of Chicago, 2004, Hlm. 694.
[5] MAJ Keith E. Puls, Law of War
Handbook, International and Operational Law Department, 2005, Hlm. 142.
[6] Summary of The Geneva
Conventions of 12 August 1949 and Their Additional Protocol, Switzewrland,
2012, Hlm.5.
[7]
http://definitions.uslegal.com/t/truce/
[8] Charles J. Moxley Jr., John
Burroughs, Jonathan Granoff, Nuclear Weapons and International Law, Hlm. 598
[9] http://www.history.co.uk/study-topics/history-of-ww2/treaty-of-versailles